Kamu (1)
Berawal di tahun 2012. Yang kutahu, kau adalah teman SMAnya temanku. Kau mungkin tidak tahu kalau aku tahu.
Lalu kita bertemu di satu organisasi di kampus, pada saat itu tak terpikir olehku akhirnya mungkin hubungan kita sekarang ada di titik ini.
Hingga akhirnya kamu tertawa saat aku bercanda, bahkan saat aku tidak bermaksud bercanda. Tidak pernah ada yang menganggapku lucu seperti itu, tertawa seperti kamu. Tidak pernah ada sebelumnya yang mencoba mendekatiku seperti kamu.
Rasa penasaranku akan perasaanmu muncul, saat kamu mengajakku ke pusat perbelanjaan kota. Katamu, tolong temani kamu untuk membelikan sepatu baru untuk mamamu. Baru kali itu aku jalan benar-benar berdua dengan laki-laki.
Sebelumnya, aku memang pernah dekat dengan yang lain saat masih di bangku sekolah dan di tingkat satu, tapi tidak seperti ini. Aku rasa berbeda.
Hingga akhirnya aku bercerita pada salah satu temanku tentang perasaanku padamu. Tapi temanku malah menertawakan aku dan disebarkan ke temanku yang lain. Malu, hanya satu kata. Malu.
Aku merasa rasa itu sungguh rendah dan membuatku terlihat lemah. Sejak saat itu, aku tak ingin satupun orang tahu tentang apa yg aku rasa. Jika bisa aku tutupi, aku ingin seumur hidup tak ada yg tahu.
Selalu kuperhatikan gerak-gerikmu. Kamu yang selalu sholat di awal waktu, kamu yang suka berpuasa sunnah, dan lainnya. Jujur aku kagum pada kebiasaanmu, sulit untuk sholat di awal waktu dan berpuasa, apalagi pada saat aku kuliah. Ya biarpun ibadah wajibku sendiri insya Allah tak pernah terlewat.
Kekecewaan, sakit hati, rasa suka, rasa benci, rasa senang, rasa penasaran, rasa kesal, rasa bahagia, rasa cemburu, dendam, kasihan, semua aku rasakan berkali-kali pada orang yang sama. Kamu.
Bukan berarti tidak ada satu orang pun yang mendekat, ada saja yang mendekatiku. Tapi aku seperti membuat pagar di diriku, aku tidak boleh lemah. Urusan itu hanya buang-buang waktu.
Waktu berjalan, tahun demi tahun berlalu. Kita sudah semakin jarang terikat di organisasi, aku sudah sibuk dengan tugas akhirku, hingga akhirnya aku lulus dan meninggalkan Bandung.
Rasa penasaranku belum selesai. Entah karena tidak terucap atau karena tidak 100% berbalas. Aku merasa bodoh. Bahkan hingga akhirnya aku bekerja dan bergaul di tempat yang benar-benar baru saja, hanya kamu yang kupikirkan, yang aku simpan sebagai harapan di dalam hati.
(berlanjut)
Comments
Post a Comment